Kelompok Masyarakat Adat
Kumapo Lambuya Selatan
SEKILAS
PROSES PENGINGKARAN ATAS HAK TANAH ADAT
MASYARAKAT ASLI LAMBUYA SELATAN
A. Kronologi Kasus
Awal September 1996
Dengan tanpa sepengatahuan warga, tiba-tiba Pemda
TK II Kendari mengajak 12 Kepala Desa di wilayah
Kecamatan Lambuya dan Tokoh-Tokoh Adat setempat.
berkunjung ke Kabupaten BONE (Sulsel) untuk
melihat Pabrik Tebu disana. Dari kunjungan
tersebutlah kemudian para kepala desa dan tokoh
masyarakat adat mengetahui bahwa ada rencana
Pemda TK II untuk memanfaatkan lahan sekitar 4000
Ha untuk mendirikan Pabrik dan kebun TEBU di
Lambuya Selatan.
Dari pertemuan beberapa kali antara Pemda TK
II, para kepala desa, tokoh adat dan Investor,
maka beberapa hasil kesepakatan yang akan menjadi
pegangan untuk Kepala Desa dan Tokoh Adat,
sebagai bahan untuk seluruh warga di Lambuya
Selatan, yakni:
- Rencana perkebunan tebu di Lambuya
Selatan dengan menggunakan pola PIR,
seperti di Bone
- Rencana operasional PT. SMB akan dimulai,
jika ada kesepakatan harga dan sudah
dibayar.
- Perusahaan akan membayar tanah warga,
kemudian melakukan penggusuran.
- Bupati berjanji, bahwa jika tanah yang
akan digunakan perusahaan tidak dibayar,
maka pangkat dan jabatannya sebagai
jaminan.
Awal Desember 1996
Tanpa pemberitahuan, tanpa musyawarah, tiba-tiba
pihak PT. SMB sudah memulai penggusuran pada 3
desa di Landono dan 4 desa di Lambuya Selatan
(Desa laomoso, teteasa, Puao,dan Motaha).
16 Desember 1996
Akibat protes warga, maka musyawarah kesepakatan
harga dilakuakan antara pihak PT. SMB dan
masyarakat dan disaksikan Bupati TK ll Kendari.
Hasil kesepakatan antara lain jenis tanah
pertanian dengan rincian; Untuk tanah Non
Sertifiat punya alas Hak dinilai Rp.300/meter.
Sedang Tanah Non Sertifikat tidak punya alas Hak
dinilai Rp 200/ meter.
15 Januari 1997
Bupati kendari(Drs. Razak parosi), turun mendadak
ke desa Motaha, dan menyampaikan amanah Gubernur
Sulra (Drs.H. Laode Kaimoeddin) bahwa kesepakatan
harga berdasarkan musyawarah Tgl 16 Desember 1996
yang tertuang dalam SK (Surat Keputusan) itu
tidak disetujui Gubernur. Dan Gubernur memaksa
harus dinilai dengan Rp.100/meter untuk Non
Stertifikat ada alas Hak. Dan Rp. 50/meter untuk
tanah Non Sertifikat tidak beralas Hak.
18 Januari 1997
Merasa ditipu, masyarakat pada 4 desa menguasai
BaseCamp PT. SMB untuk meminta pimpinan
perusahaan PT. SMB agar tetap berpengak pada SK
kesepakatan tgl 16 Desember 1996.
23 Januari 1997
Karena penggusuran tetap berlangsung sementara
kepastian kompensasi tanah warga belum jelas,
maka 14 wakil masyarak adat dari 13 Desa di
Lambuya Selatan mengadukan nasibnya ke DPRD TK I
Sultra. Tuntutan masyarakat adalah:
- Cara-cara tidak manusiawi yang dilakuakn
oleh pihak PT. SMB, dengan menggusur
kuburan-kuburan leluhur masyarakat serta
tanaman produktif lainnya, yang digusur
pada malam hari.
- Masyarakat adat Lambuya Selatan meminta
agar pihak PT. SMB menghentikan
penggusuran, sebelum ada pembayaran dan
kejalasan hak tanah mereka.
- Memohon agar pihak PT. SMB tetap
konsistem dengan kesepakatan tgl 16
Desember 1996. Dan tidak mengikuti
keinginan lisan Gubernur.
- Masyarakat adat juga memprotes pernyataan
Gubernur (Drs.H. Laode Kaimoeddin) lewat
mess media bahwa tanah diLambuya Selatan,
kalau perlu gratis.
28 Januari 1997
Akibat penggusuran yang semakin mengganas,
kembali warga mendatangi DPRD TK ll Kendari untuk
dipertemuakan dengan Pemda TK II Kendari.
Tuntutan masyarakat adat Lambuya Selatan saat itu
adalah:
- Mempetanyakan soal tapal batas kebutuhan
yang diclaim Pemda hanya 500 meter dari
As jalan. Sedang masyarkat adat punya
bukti pal batas yang berjarak 3-5 KM dari
As jalan.
- Tetap menuntut realisasi SK kesepakatan
tgl 16 Desember1996
- Meminta penghentian penggusuran keburan
leluhur mereka.
29 Januari 1997
Bupati TK II Kendari berjanji didepan wartawan
bahwa pembayaran ganti rugi akan direalisasikan 2
hari lagi.
5 Pebruari 1997
Karena janji Bupati tidak ditepati, maka lebih
kurang 250 warga masyarakat kembali menguasai
BaseCamp PT. SMB dan sekaligus mengandra
kendaraan dan peralatan operasioanal PT. SMB.
14 Pebruari 1997
Karena aspirasi masyarakat adat Lambuya Selatan
yang semakin keras, Gubernur Drs.Laode Kaimoeddin
turun ke Desa Motaha untuk bertemu dengan
masyarakat. Namun masyarakat tetap berpengang
teguh pada pal batas kehutanan berdasarkan tahun
1978 dan tetap berpegang pada SK hasil musyawara
16 Desember 1996. Merasa tidak disahuti
keinginannya, dengan emosi Gubernur mengancam
masyarakat, agar bertemu di pengadilan.
Selama Pebruari 1997
Masyarakat adat Lambuya Selatan ke DPRD TK II
Sultra sebanyak 4 kali dengan tuntutan yang sama.
Awal Maret 1997
PT. SMB melakuakan pembayaran kepada warga yang
dapat dipengaruhi dengan menggunakan beberapa
warga lambuya yang sudah tinggal di kota. Dan
pembayaran dilakukan dengan berdasarkan harga
yang diucapkan lisan oleh Gubernur.Bukan harga
berdasarkan kesepakatan 16 Desember 1996. Cara
pembayarannyapun dengan menipulasi. Nilai Rp.
50/meter dimasukkan ke Amplop tertutup dan
masyarakat menamdatangani kwitansi kosong.
Kemudian warga yang sudah dibayar digantungkan
kertas yang tertulis " LUNAS " di dada
mereka, kemudian di foto.
Selama Maret 1997
Wakil masyarakat Lambuya Selatan tetap ke DPRD TK
I Sultra, dengan tuntutan yang sama dan mengutuk
cara-cara PT. SMB memecah belah masyarakat di
Lambuya Selatan.
15 April 1997
Undangan beredar untuk rencana peletakan batu
pertama pada tgl 20 April 1997, yang membuat
warga Lambuya Selatan semakin resah.
16 April 1997
Sekitar 150 wakil masyarakat adat Lambuya Selatan
menghadap ke DPRD TK I Sultra untuk meminta agar
peletekan batu pertama jangan dilakukan sebelum
masalah dengan masyarakat adat diLambuya Selatan
diselesaikan. Karena DPRD tidak memberi respon,
warga langsung ke kantor Gubernur untuk bertemu
langsung Drs.H. Laode Kaimoeddin. Karena Gubernur
tidak ditempat, maka masyarakat di terima oleh
wakil Gubernur (Brigjen D. Muchidin). Saat dialog
tersebut, Wagub memahami keinginan warga dam
berjanji untuk meminta PT. SMB agar menunda
peletakan batu pertama, sambil mengadakan
musyawarah ulang dengan masyarakat. Dan seperti
di DPRD, maka didepan Wagub masyarakat adat
berjanji akan melakukan aksi jika peletakkan batu
pertama tetap dilaksanakan.
20 April 1997
Peletekan batu pertama tetap dilaksanakan. Dan
sesuai dengan janji warga di DPRD dan Wagub 4
hari sebelumnya bahwa mereka akan melakukan aksi
jika peletakan batu pertama tetap dilaksanakan,
benar-benar direalisasikan. Sekitar 300 orang
mendatangi tempat upacara peletakan melakukan
unjuk rasa saat Gubernur Sultra berpidato dengan
disaksikan pejabat perkebunan dari Jakarta. Warga
menginginkan dialog langsung dengan Gubernur
Sultra (Drs.H. Kaimoeddin), namun Gubernur
menolak. Dan dengan cepat warga dihalau oleh
pihak keamanan.
20 April 1997
Akibat kejadian di lokasi perkebunan yang cukup
tegang, maka untuk menghindari langkah intimidasi
pihak keamanan, masyarakat adat Lambuya Selatan
menemui Danrem 143 Haluoleo, Kol.Art.Kasdi di
Posko Kewaspadaan Nasioanal (Makorem 143
Haluoleo) untuk menjelaskan masalah yang
sebenarnya).
22 April 1997
Didampingi pengacara, wakil masyarakat adat
Lambuya Selatan, mengadakan pertemuan di Posko
Kewaspadaan Nasional (PKN) di kantor Kodim 1417
Kendari, dengan direktur PT. SMB, Ir.A.Gunawan
(Adik ipar Gubernur Sultra), dan dihadapi oleh
Bupati TK II Kendari. Namun masyarakat adat
menjadi kecewa, karena pihak PT. SMB tidak dapat
mengambil keputusan ada pada Direktur Utama
(Amiruddin) yang berkantor di Jakarta.
25 April 1997
Kembali warga mengadakan pertemuan di PKN (Aula
Kodim 1417 Kendari), dengan menghadirkan pihak
Pemda TK I dan II serta pihak PT. SMB. Dan hasil
pertemuan disepkati bahwa PT. SMB untuk sementara
menghentikan penggusuran, dan menghentikan
janji-janji/iming-iming pembayaran, sambil
menyerahkan keinstansi tehnis (kehutanan) untuk
meninjau kembali tepal batas kehutanan yang
sebenarnya.
15 Mei 1997
Karena PT. SMB tetap menggusur dan Tim Kehutanan
tidak turun ke Lambuya, Sekitar 150 warga Lambuya
Selatan kembali mendatangi PKN mempertanyakan
realisasi kesepakatan 25 April1997. Warga
diterima oleh Kasrem 143 Haluoleo, Letkol Inf
Djamaluddin Beddu.
Selama Mei 1997
Warga sudah 5 kali ke PKN (Posko Kewaspadaan
Nasional) untuk menanyakan realisasi peninjauan
tapal batas. Dari informasi salah seorang kepala
Desa diLambuya Selatan, bahwa setelah pertemuan
di PKN, pihak PT. SMB mengajak kepala desa
tersebut ke sebuah Hotel dan dijanji akan diberi
hadiah jika mau menandatangani jumlah areal
rencana perkebunan yang sudah dibuat sendiri oleh
pihak PT. SMB. Dan meminta ke kepala desa
tersebut untuk tidak usah mengukur/meninjau
ulang. Namun kepala desa tersebut tidak
menyahutinya.(Kepala Desa tersebut siap dimintai
keterangan kapan saja).
Awal Juni 1997
Tim tehnis Kehutanan turun ke lapangan, tetapi
bukan meninjau bukti pal batas yang di buat Tim
kehutanan (thn 1978), malahan meletakkan tapal
batas kehutanan baru berdasar SK Tahun 1969 (yang
sudah menjadi3 meter dari as jalan)
Juni 1997
Pemasangan pal batas baru belum selesai, warga
memprotes dan menghentikan pemasangan pal batas
baru.
Juni 1997
Dandim 1417 Kendari. Letkol. Kav. Gandedy.
D,(PKM) turun langsung meninjau lahan warga yang
telah dan sementara digusur, sekaligus meliha
langsung pal batas yang menjadi bukti warga,
serta kuburan leluhur masyarakat adat yang
tersisa dari penggusuran. Setelah melihat
langsung di lapangan, maka Dandim berjanji akan
mempertemukan dengan pihak PT. SMB dan pemda,
agar tapal batas kehutanan tidak lagi menjadi
soal karena sudah ada bukti milik masyarakata
sejak dahulu. Tinggal bagaimana melakukan
musyawarah ulang soal harga ganti rugi.
Juni 1997
Warga kembali ke Posko Kewaspadaan Nasional untuk
menagih janji musyawara ulang yang telah diundur
sebanyak 7 kali.
Awal Juli 1997
Akibat tidak adanya realisasi musyawara ulang,
sementara penggusuran tetap berlangsung, maka
sekitar 500 orang warga di 4 Desa merusak Base
Came dan tanaman tebu PT. SMB.
Juli 1997
Akibat langkah masyarakat yang sudah keras, Tim
dari Posko Kewaspadaan Nasional turun langsung ke
lapangan untuk menenangkan warga dan meminta
untuk bersabar. Sampai saat ini telah ada kantor
perwakilan Posko Kewaspadaan Nasional di Desa
Puao.
Selama September 1997
Warga tetap mendatangi DPRD TK I dan DPRD TK II
serta kantor Bupati.
4 Oktober 1997 (hari sabtu, pukul 15.00)
Tim PT. SMB dengan menggunakan senjata api milik
salah seorang anggota ABRI telah mengancam tokoh
masyarakat adat di Desa Benua (Bapak Karno),
dalam rangka memberi tekanan psikologis kepada
warga untuk menguasai lahan di Desa Benua.
15 Oktober 1997
Melihat kerisauan masyarakat adat yang semakin
gelisah atas nasib lahan mereka, 4 wakil tokoh
masyarakat adat, menemui Bupati TK II Kendari
(Drs. Razak Parosi) untuk mengharapkan kepada
Bupati agar mau melakukan musyawarah dengan
masyarakat dan PT. SMB. Akhirnya Bupati
mengandung tokoh masyarakat adat lambuya selain
untuk berdialog di kantornya. Karena masyarakat
tidak bisa dibujuk dan tetap bertahan pada Hak
Adatnya dan menolak perusahaan Harga secara
lisan, akhirnya Bupati mengusir dari ruangan
salah satu tokoh masyarakat. Dan untuk
menunjukkan prinsip/solidaritas tokoh masyarakat
lainnya terpaksa ikut juga keluar ruangan rapat.
Akhir Desember 1997
Melihat sikap Pemda dan PT. SMB yang semakin
arogan, dan tidak ada tanda-tanda untuk membuka
diri memusyawarahkan masalah di Lambuya Selatan,
maka dengan didampingi oleh aktivis WALHI, lima
(5) wakil masyarakat adat Lambuya Selatan
masing-masing; SALOKO, ARIFUDDIN, M.BASRI,
SARKUN, & HANAPIAH berangkat ke Jakarta untuk
mendialogkan masalah yang menimpah warga Lambuya
Selatan, ke Komnas HAM, DPR Pusat & Mendagri.
Pebruari 1998
Sepulang dari jakarta, para wakil masyarakat adat
Lambuya Selatan, menyampaikan ke warga agar
bersabar, karena instansi di Pusat, khususnya
Komnas HAM dan Kantor Mendagri sudah berjanji
akan ke Kendari (lambuya) untuk membantu
menyelesaikan masalah di Lambuya.
Tim dari Komnas HAM dan Mendagri belum datang,
Oknum militer milik PT. SMB melakukan
penganiayaan terhadap 2 warga di Lambuya Selatan.
Yang akhirnya menyebabkan terjadinya Pembakaran
BaseCamp PT. SMB (15 Pebruari 1998) oleh
spontanitas sekitar 700 warga dari 5 desa yang
bertetangga.
Kelompok Masyarakat Adat Kumapo Lambuya Selatan,
(ARIFUDDIN/Ketua/Pabitara) (SARKUN.M/Sekretaris)
Pengantar A.
Kronologi Kasus B. Deskripsi
Proses
Alamat Kontak:
Kelompok Masyarakat Adat Kumapo Lambuya Selatan
d/a. Kantor WALHI SULTRA (alamat sementara)
Jalan Bunga Matahari No. 42 C. Kendari.
Fax : (0401) 25451.
E-mail: sama@kendari.wasantara.net.id
|